BAGAI BUIH DILAUTAN
Oleh: Hasrian Rudi Setiawan,
M.Pd.I
Pastinya setiap kita pernah meliah
buih di lautan, bagaimana keadaan buih dilautan tersebut. Pasti terombang
ambing ditengah gelombang, tidak punya arah dan tujuan . Umat Islam akhir jaman
diumpamakan oleh Rasulullah Saw bagaikan buih dalam lautan. Hal ini sebagaimana
hadis nabi yang artinya: “Akan datang suatu masa, dalam waktu dekat, ketika
bangsa-bangsa (musuh-musuh Islam) bersatu-padu mengalahkan (memperebutkan)
kalian. Mereka seperti gerombolan orang rakus yang berkerumun untuk berebut
hidangan makanan yang ada di sekitar mereka”. Salah seorang shahabat
bertanya: “Apakah
karena kami (kaum Muslimin) ketika itu sedikit?” Rasulullah menjawab: “Tidak! Bahkan kalian waktu itu
sangat banyak jumlahnya. Tetapi kalian bagaikan buih di atas lautan (yang
terombang-ambing). (Ketika itu) Allah telah mencabut rasa takut kepadamu dari
hati musuh-musuh kalian, dan Allah telah menancapkan di dalam hati kalian ‘wahn’”. Seorang shahabat Rasulullah bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud
dengan ‘wahn’ itu?” Dijawab oleh Rasulullah saw.: “Cinta kepada dunia dan takut
(benci) kepada mati”. (Dalam at-Tarikh al-Kabir, Imam Bukhari; Tartib Musnad Imam
Ahmad XXIV/31-32; “Sunan Abu Daud”, hadis No. 4279).
Ada beberapa pelajaran
penting yang dapat kita tarik dari hadits Rasulullah Saw di atas:
Pertama, Rasulullah Saw memprediksi
bahwa akan tiba suatu masa dimana orang-orang beriman akan menjadi kumpulan
manusia yang menjadi rebutan ummat lainnya. Mereka akan mengalami keadaan yang
sedemikian memprihatinkan sehingga diumpamakan seperti suatu porsi makanan yang
diperbutkan oleh sekumpulan pemangsa. Artinya, pada masa itu kaum muslimin
menjadi bulan-bulanan kaum lainnya. Hal ini terjadi karena mereka tidak
memiliki kemuliaan sebagaimana di masa lalu. Mereka telah diliputi kehinaan.
Kedua, pada masa itu, kaum
muslim tertipu dengan banyaknya jumlah mereka padahal tidak bermutu. Sahabat
menyangka bahwa keadaan hina yang mereka alami disebabkan jumlah mereka yang
sedikit, lalu Nabi Saw menyangkal dengan mengatakan bahwa
jumlah muslimin pada waktu itu banyak, namun berkualitas rendah. Hal ini juga
dapat berarti bahwa pada masa itu ummat Islam sedemikian peduli dengan
kuantitas namun lalai memperhatikan aspek kualitas. Yang penting punya banyak
pendukung alias konstituen sambil kurang peduli apakah mereka berkualitas
atau tidak. Sehingga kaum muslim menggunakan tolok ukur mirip kaum kuffar
dimana yang banyak pasti mengalahkan yang sedikit. Padahal Allah menegaskan di
dalam Alquran bahwa pasukan berjumlah sedikit dapat mengalahkan pasukan musuh
yang jumlahnya lebih besar dengan izin Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah
yang artinya: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan
golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang
sabar.” (QS Al-Baqarah ayat 249).
Pada masa di mana muslimin terhina, maka kuantitas mereka yang
besar tidak dapat menutupi kelemahan kualitas. Sedemikian rupa sehingga Rasulullah Saw mengumpamakan
mereka seperti buih mengapung. Coba perhatikan tabiat buih di tepi pantai. Kita
lihat bahwa buih merupakan sesuatu yang paling terlihat, paling indah dan
berjumlah sangat banyak saat ombak sedang bergulung. Namun buih pulalah yang
paling pertama menghilang saat angin berhembus lalu menghempaskannya ke udara.
Ketiga, Rasulullah Saw mengisyaratkan
bahwa jika ummat Islam dalam keadaan terhina, maka salah satu indikator
utamanya ialah rasa gentar menghilang di dalam dada musuh menghadapi ummat
Islam. Artinya, sesungguhnya Nabi Saw lebih menyukai ummat
Islam senantiasa berwibawa sehingga disegani dan ditakuti musuh. Dewasa ini
malah kita melihat bahwa para pemimpin berbagai negeri berpenduduk mayoritas
muslim justru memiliki rasa segan dan rasa takut menghadapi para pemimpin
kalangan kaum kuffar dunia barat. Alih-alih mengkritisi mereka, bersikap sama
tinggi sama rendah saja sudah tidak sanggup. Sehingga yang kita lihat di
panggung dunia para pemimpin negeri kaum muslimin menjadi pelayan. Padahal
Allah menggambarkan kaum muslimin sebagai manusia yang paling tinggi derajatnya
di tengah manusia lainnya jika mereka sungguh-sungguh beriman kepada Allah. Hal
ini sebagaimana firman Allah yang artinya: “Janganlah kamu bersikap
lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang
yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran ayat 139).
Penutup
Dari
peringatan Rasulullah Saw kepada kita di atas, hendaklah menjadi pelajaran
kepada kita untuk selalu dapat meningkatkan kualitas diri dan patutlah kiranya kita semua, umat Islam melihat ke dalam,
seberapa jauh kiranya kita sudah terjangkiti penyakit terlalu cinta terhadap
kehidupan dunia dan melupakan kehidupan akhirat yang kekal abadi. || Penulis
Dosen PAI UMSU. (telah terbit di harian medan pos).