OTORITAS PROFESIONAL PENDIDIK
Oleh: Lidia,
S.Pd.I
(Alumni
Fakultas Agama Islam UMSU)
Menjadi
pendidik adalah merupakan salah satu profesi yang mulia. Hal ini karena,
pendidik merupakan orang yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepada peserta
didiknya. Menjalankan profesi sebagai seorang pendidik bukanlah merupakan hal
yang mudah untuk dilakukan, sebab tidak ada profesi yang paling memelahkan
selain menjadi seorang pendidik. Namun, kemuliaan sebagai seorang pendidik
tidak akan mungkin bisa diperoleh tanpa sikap profesionalisme dalam diri mereka
sendiri. Hal ini seperti yang disebutkan dalam Psychology Applied to Teaching, menurut Jack Snowman, dan Rick McCown,
mereka mengatakan bahwa sikap terhadap profesi berarti adanya kesadaran yang
permanen. Kemudian mereka juga mengatakan bahwa menjadi guru yang baik dan
profesional itu setidaknya memiliki tiga alasan, diantaranya adalah: Pertama, mengajar merupakan pekerjaan
yang sangat kompleks serta harus memiliki pengetahuan yang luas; Kedua, di dalam kelas pelaksanaan
mengajar harus selalu di barengi dan disegarkan hasil riset secara terus-menerus;
Ketiga, pendidik yang selalu updating dengan hasil-hasil riset, baik yang
dibuat sendiri maupun dibacanya, akan menjadi pendidik yang lebih baik daripada
lainnya.
Dalam prakteknya proses pembelajaran yang dilakukan
merupakan suatu disiplin intelektual yang selalu memerlukan pengembangan. Jika
seorang pendidik memiliki otoritas professional, seorang pendidik akan lebih
mudah dikenali dengan mudah, baik oleh peserta didiknya maupun praktisi
pendidikan. Selain itu, juga dapat menunjukkan akan jati diri sebagai seorang
pendidik, yaitu, pendidik bukan hanya sebagai pembaca buku saja, namun juga
sekaligus pembelajar bagi peserta didiknya. Tanpa adanya otoritas profesional
bagi seorang pendidik, maka dapat diibaratkan seperti seorang dokter yang
melakukan diagnosis tanpa pengetahuan tentang teori dan cara mendiagnosis
pasien. Adapun yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan otoritas profesional pendidik
adalah dengan bagaimana memahami untuk kemudian meninggalkan paradigma lama
dalam melakukan pola pembelajaran.
Belasan tahun lebih para pendidik telah terbuat dengan
suatu pendekatan yang disebut behaviorisme. Pendekatan ini selalu berusaha
mencoba mengubah tingkah laku. Secara intrinsik, proses belajar-mengajar dalam pendekatan
behaviorisme terlalu terpaku pada masalah-masalah yang kompleks dan tidak
terpecahkan, yaitu asumsi stimulus-respons terlalu menyederhanakan masalah
pembelajaran yang semakin spesifik. Bahkan dalam pendekatan behavioristik juga
sangat kurang menghargai kreativitas peserta didik karena model menghafal dan
meng-copy masalah
menjadi ciri lainnya dari model ini. Sebab itulah dalam dunia pendidikan,
otoritas pendidik yang didasarkan pada pendekatan behaviorisme harus segera
diubah ke dalam pendekatan functional-learning, yaitu sebuah pendekatan yang
lebih menghargai kapasitas akademis pendidik dan peserta didik secara
bersamaan. Pendekatan ini mewajibkan otoritas pendidik tergantung pada siapa
yang mengajar. Dalam bahasa Jerome Bruner, model pendekatan ini seperti fungsi
seorang ibu yang berinteraksi dengan anaknya melalui akuisisi bahasa. Artinya,
teori ini melihat bahasa sebagai hasil dari interaksi seorang ibu atau pendidik
ketika menggunakan bahasa sesuai dengan rasa bahasa yang berkembang dalam diri peserta
didik.
Ketika di dalam kelas, seorang pendidik harus dapat
melihat penugasan dalam penulisan bukan sebagai tiruan tegas, melainkan sebagai
situasi ketika penulisan mempunyai satu peran fungsional terhadap daya nalar
dan daya tangkap seorang peserta didik. Karena itu, dalam melakukan penilaian,
seorang pendidik harus mengandalkan otoritas pikir dan rasa yang dimilikinya. Dalam
pendekatan ini seorang pendidik tidak bisa seenak hatinya mengikuti aturan
penilaian sepihak saja, namun harus juga mendiagnosis respon yang mencerminkan
pengalaman peserta didik ketika mengerjakan suatu tugas.
Apabila dalam pola pembelajaran pendekatan fungsional
digunakan sebagai suatu pendekatan di kelas yang digunakan oleh pendidik, maka
pendidik dapat menunjukkan otoritas dirinya sebagai fasilitator sekaligus
mediator pembelajaran yang baik. Keterampilan mendidik, jika diramu dan
digabungkan dengan kemampuan melakukan riset kelas (action
research) secara terus-menerus, dalam diri pendidik maka akan
terbentuk etos profesionalisme yang selalu dinamis bergerak mengikuti
perkembangan zaman. Kemudian hal yang juga penting untuk dilakukan adalah menumbuhkan
kesadaran mengajar merupakan sebuah seni. Pada prinsipnya seni mengajar hanya dapat
diaplikasikan secara sederhana jika seorang pendidik mampu memahami empat hal,
diantaranya adalah:
Pertama, dalam
mengajar harus terdapat keyakinan sekaligus kepercayaan serta memiliki tujuan
yang jelas yang hendak dicapai; Kedua,
dalam mengajar seorang pendidik harus menumbuhkan kematangan dan kedewasaan emosi
yang stabil dalam rangka mengelola interaksi dengan peserta didik dan teman pendidik
lainnya. Tanpa kematangan dan kedewasaan emosi yang cukup, sangat mustahil
seorang pendidik dapat berkembang dengan baik; Ketiga, dalam mengajar seorang pendidik harus bersikap fleksibel, baik
dari segi perencanaan maupun penggunaan alat, bahan, dan strategi pengajaran di
dalam kelas. Hal ini karena, yang dihadapi pendidik di dalam kelas adalah
peserta didik yang tentunya yang memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga sikap
fleksibel jelas dibutuhkan seorang pendidik; Keempat, dalam mengajar seorang pendidik harus memiliki nilai yang
positif, baik bagi peserta didik maupun bagi pendidik lainnya. Intinya mengajar
itu harus selalu diisi nilai-nilai kebaikan dan mendorong seseorang melakukan
hal-hal yang positif. ||Penulis
Alumni FAI UMSU. (telah terbit di harian Jurnal asia, 2016)