MENGEVALUASI KINERJA GURU
Oleh: Hasrian Rudi Setiawan, M.Pd.I
Penulis Dosen Pendidikan Agama Islam UMSU
Ada sebuah ungkapan yang
populer disebutkan dalam khazanah pendidikan Islam, yang artinya: “Metode
lebih penting daripada materi/kurikulum. Guru lebih penting daripada metode. Dan
spirit guru jauh lebih penting daripada
guru itu sendiri.” Ungkapan ini memberikan isyarat kepada kita tentang inti
problematika pendidikan , yang salah satunya adalah pendidik dan ungkapan
tersebut menggambarkan dari mana seharusnya langkah peningkatan mutu dan
kinerja pendidik dimulai.
Pemerintah
ketika ingin berusaha meningkatkan mutu pendidikan nasional dengan terlebih
dahulu menjadikan guru sebagai pendidik propesional merupakan suatu tindakan
yang benar dan tepat. Hal ini tentunya sesuai dengan UU No 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, kualifikasi dan kompetensi guru diobyektifkan. Pendapatan gaji
guru juga ditingkatkan melalui tunjangan profesi bagi yang telah
tersertifikasi. Namun sayangnya, mutu dan kinerja guru tidak kunjung membaik setelah
hampir 10 tahun lebih kebijakan tersebut dijalankan,
Hal
ini tentunya sangat memprihatinkan, apabila kualitas pendidik rendah maka sudah
dapat dipastikan mutu pendidikan juga akan rendah. Hal ini sebenarnya bukan
merupakan kesalahan guru semata namun juga karena pengelolaan yang buruk dan
kurang tepat. Pada umumnya seseorang yang menjadi guru bukanlah berasal dari
pelajar yang berminat dan berprestasi terbaik. Mereka memilih menjadi guru
karena mungkin mereka tidak mendapatkan pekerjaan yang diidolakan. Karena itu,
setelah mereka menjadi guru, sebagian besar tidak pernah mendapatkan pendidikan
dan pelatihan keguruan, mereka juga terkadang tidak memiliki ilmu pengetahuan
bagaimana caranya mendidik siswa, maka tidak heran apabila kita melihat guru
hanya sekedar mengajar di kelas, namun tidak dapat pendidik siswanya. padahal
guru seharusnya bukan sekedar mengajar namun harus mendidik siswanya.
Dengan
adanya program profesionalisme seharusnya menjadi momen emas dalam memperbaiki
mutu dan kinerja guru. Dan tunjangan profesi yang disediakan oleh pemerintah
selayaknya dijadikan sebagai insentif dari keikutsertaan dalam proses
sertifikasi yang efektif. Namun sayangnya sejak awal kesempatan tersebut tidak
dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai pemangku kebijakan dengan sungguh-sungguh.
Walhasilprogram profesionalisme yang kedengaranya hebat tiidak memiliki dampak
apapun kecuali hanya berdampak pada peningkatan ekonomi sebagian guru saja.
Karena
tidak adanya dampak positif dengan meningkatnya kualitas guru, maka pada masa
Bapak M. Nuh (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), maka dicoba mengintervensi
terhadap mutu guru dengan membuat kebijakan dengan diselenggarakannya Uji
Kompetensi Awal (UKA) sebagai bagian sistem seleksi sertifikasi. Yang kemudian Uji
Kompetensi Awal (UKA) diganti namanya Menjadi Uji Kompetensi Guru (UKG). Yang
tujuanya sebagai upaya pemetaan dalam rangka pengembangan keprofesian guru.
Namun sayangnya, hasil UKG tidak terekspos cukup jelas sehingga kegiatan evaluasi
ini sepertinya jadi andalan utama dalam meningkatkan mutu. Hal ini terbukti
sekitar 2 juta guru yang mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG) dan Uji Kompetensi
Guru (UKG) terdahulu belum mendapatkan sentuhan lanjutan atau feetback, padahal
jika dilihat nilai rata-rata guru yang ikut Uji Kompetensi Guru (UKG) di bawah
5 atau bahkan dibawahnya. Bahkan ada sebahagian guru yang diwajibkan untuk
mengulang dengan ikut Uji Kompetensi Guru (UKG) lagi. Sebenarnya, selain dari
Uji Kompetensi Guru (UKG), guru juga akan menghadapi Penilaian Kinerja di
lapangan.
Dengan melihat dan
menyaksikan komptensi yang dimiliki guru saat ini, sebenarnya teknis
pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG) hanya dapat menilai pada aspek kognitif
(pengetahuan) guru semata tentang pedagogi dan materi pelajaran. Sedangkan Uji
Kompetensi Guru (UKG) yang ada saat ini belum mampu memotret kompetensi itu
ketika diterapkan dalam praktik kelas, apalagi memotret spirit guru yang
sebenarnya merupakan hal yang sangat penting. Pemerintah melalui Kemdibud harus
memiliki cara dan pelatihan yang jitu yang dapat menigkatkan kompetensi guru.
Jika tidak, apa gunanya Uji Kompetensi Guru (UKG) dengan biaya miliaran rupiah
diadakan setiap tahun?. || Penulis Dosen Pendidikan Agama Islam UMSU. (telah terbit di harian jurnal asia)