SEKOLAH SEBAGAI TEMPAT
PEMBENTUKKAN MORAL
Oleh: Hasrian Rudi
Setiawan, M.Pd.I
Penulis Dosen Fakultas
Agama Islam UMSU
Salah satu visi
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan adalah mewujudkan ekosistem pendidikan dan
kebudayaan yang memiliki karakter. Namun sayangnya, ekosistem moral pendidikan
di negeri ini belum terbangun, dikarenakan penumbuhan budi pekerti belum
menyentuh pembentukan kultur sekolah sebagai komunitas moral. Salah satu
langkah awal yang dilakukan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Bapak
Anies Baswedan adalah merevisi regulasi bermasalah, yang salah satunya adalah
menghapus fungsi Ujian Nasional (UN)
sebagai salah satu syarat kelulusan. Kebijakan yang menjadikan Ujian Nasional
(UN) sebagai syarat kelulusan bagi siswa, telah banyak melahirkan berbagai
macam kecurangan baik yang dilakukan secara perorangan maupun yang sifatnya
terstruktur dan sistematis.
Kemudian, langkah kedua
untuk memperkuat regulasi pembentukkan karakter dilingkungan pendidikan sekolah
adalah adanya Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Rendhnya minat dan kemampuan membaca anak Indonesia ditanggapi dengan ajakan
untuk membaca 10 menit sebelum memulai pelajaran. Untuk menumbuhkan rasa cinta
tanah air, guru dan siswa serta yang berada dilingkungan sekolah diajak
menyanyikan lagu wajib nasional di ruang-ruang kelas dan melakukan upacara
bendera setiap hari Seninnya. Orangtua juga diharapkan dapat memperhatikan dan mengantarkan anaknya pada hari pertama masuk sekolah.
Namun sebenarnya, apa yang dinyatakan dalam Permendikbud No 23 Tahun 2015 sesungguhnya
sudah banyak dilakukan dan diterapkan di sekolah-sekolah. Namun sayangnya di
sekolah-sekolah banyak praktek pembentukan karakter yang memperkuat lembaga
pendidikan sebagai komunitas moral belum banyak berkembang. Yang banyak
dilakukan masih bersifat kulit luar, seperti upacara bendera, senyum, salam,
sapa, sopan, santun, menyanyikan lagu nasional, atau praktek ritual keagamaan
yang dilakukan.
Jika kita menginginkan
sebuah lembaga pendidikan sebagai komunitas moral, maka yang seharusnya menjadi
jadi fokus perhatian kita bersama adalah bagaimana pembentukan roh moral
individu sebagai pembelajar. Artinya, bagaimana lembaga pendidikan mampu
menumbuhkan karakter individu sebagai pembelajar sepanjang hayat secara
otentik, pembelajar yang memiliki visi moral dalam hidupnya. Hal ini karena, upacara
yang dilakukan setiap minggu tidak akan berarti, kebiasaan senyum, salam, sapa,
sopan, santun, tidak akan memiliki makna jika individu tidak tumbuh sebagai pembelajar.
Namun sayangnya lembaga
pendidikan kita saat ini belum dapat menjadi sebuah tempat yang menumbuhkan semangat
belajar otentik. Fakta nyata dari tidak adanya tempat pembelajaran yang
menjadikan lembaga pendidikan sebagai komunitas moral adalah adanya
inkonsistensi kebijakan yang justru menjauhkan siswa dari proses belajar dan
menjauhkan guru dari proses pengajaran. Diantaranya adalah: Pertama,
Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) di satu sisi memang telah mencabut fungsi Ujian Nasional (UN) sebagai
syarat kelulusan bagi siswa, namun tetap mempertahankan Ujian Nasional (UN)
sebagai syarat masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Kebijakan seperti ini
akan tetap mempertahankan Ujian Nasional (UN) sebagai ujian tingkat tinggi sehingga potensi kecurangan dan
manipulasi nilai tetap akan terjadi, walaupun Ujian Nasional (UN) sudah tidak
dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Dampak yang akan ditimbulkan adalah,
pembelajaran akan berubah menjadi hanya sekedar disibukkan untuk melatih siswa
mengerjakan soal Ujian Nasional (UN) dan belajar menjadi kering, teknis, dan
tanpa jiwa.
Kedua,
guru disatu sisi
diberikan hak wewenang untuk memberikan penilaian otentik pada rapor siswa. Namun
di sisi lain, nilai rapor dipakai sebagai syarat kualifikasi jalur masuk Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) tanpa tes yang kuotanya sangat besar, yaitu kurang lebih 50
persen. Akibatnya, adanya konflik kepentingan yang terjadi yaitu banyaknya pihak
sekolah menginflasi nilai siswanya agar siswa tersebut dapat masuk Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) tanpa tes. Logikanya sederhana, tidak ada sekolah yang tidak menginginkan
siswa-siswanya tidak lulus dalam jalur undangan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Ketiga, Adanya kebijakan Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM). Terkadang akibat adanya kebijakan tersebut terjadi pemahaman yang telah
melenceng dari tujuan awalnya. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) seringkali
dipahami sebagai nilai minimal dalam rapor. Banyak diantara sekolah
berlomba-lomba meningkatkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) nya. Hal ini
karena, sekolah diberi wewenang untuk menentukan nilai Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) mereka sendiri. Banyak sekolah menetapkan pada mata pelajaran
tertentu bahwa nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) nya adalah nilai 75.
Namun ada pula sekolah yang menaikkan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
mereka hingga mencapai nilai 90. Kemudian kebijakan tersebut diperkuat lagi
dengan adanya aturan, agar siswa dapat mengikuti Ujian Nasional (UN), maka
semua mata pelajaran harus tuntas. Artinya, siswa tidak akan dapat terverifikasi sebagai peserta Ujian Nasional
(UN) apabila masih ada nilainya yang di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
yang ditentukan oleh sekolah. Karena itulah, mau tidak mau seorang guru harus
memberikan nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) tersebut bagi siswa kelas
akhir agar dapat menjadi peserta Ujian Sekolah (UN). Walaupun faktanya
kemampuan siswa tersebut terkadang tidak mencapai nilai Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) yang ditetapkan.
Karena itu, untuk
menjadikan sekolah sebagai suatu tempat pembentukkan moral pemerintah hendaknya
berani merubah serta merevisi kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dalam
rangka melahirkan lembaga pendidikan yang bermutu dan sebagai tempat
pembentukkan moral anak bangsa. Sudah saatnya anak bangsa memiliki kecerdasan intelektual
yang tinggi, terlebih lagi memiliki moral dan karakter yang baik. ||
Penulis Dosen FAI UMSU. (telah terbit di harian Jurnal asia).