BELAJAR MENJAGA
LISAN
Oleh: Hasrian
Rudi Setiawan, M.Pd.I
Mungkin kita sering mendengar ungkapan, “mulutmu adalah harimaumu”.
Ungkapan ini merupakan satu isyarat untuk menjaga setiap
perkataan yang keluar dari mulut. Pada kenyataanya tuhan telah menciptakan untuk manusia dengan sepasang
telinga, tentu jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan mulut, yang hanya
diciptakan satu oleh tuhan untuk manusia. Hal ini secara filosofis tuhan
mengajarkan kepada manusia untuk lebih banyak
mendengarkan daripada berbicara. Mungkin kita mampu menjadi pembicara yang
baik, tapi belum tentu sanggup jadi pendengar yang baik. Sikap diam memiliki dua makna, ia dapat menimbulkan dampak positip bisa juga menimbulkan dampak
yang negatif, tergantung dimana dan kapan ia ini diaplikasikan.
Menurut Khalil al-Musawi ada tiga jenis diam, diantaranya adalah: Pertama, Diam karena berpikir dan hikmah. Diam jenis ini merupakan diam yang baik untuk
dilakukan. Bahkan ada pepatah mengatakan, “Diam seseorang itu adalah emas”. Artinya,
jenis diam yang disebutkan emas tersebut adalah mereka diam karena memang melihat keutamaannya lebih besar dari pada
harus bersuara.
Misalnya, diam ketika ada orang menceritakan keburukan orang lain.
Kedua,
Diam dari amar ma’ruf nahi munkar. Jenis diam yang kedua ini jelas
sangat berbahaya jika dilakukan. Sebab, apabila kejahatan dan kezaliman semakin meluas, maka setiap orang memiliki peran penting, karena (seharusnya) ucapan
yang benar diperlukan
ketika itu. Misalnya, ketika ada pemimpin melakukan suatu tindakan kezaliman
terhadap masyarakat. Maka wajib seseorang atau ulama harus melawan minimal
dengan ucapanya (nasihat). Dalam hadits Rasulullah Saw bersabdah yang artinya: “Jihad yang paling utama adalah berkata benar di
hadapan penguasa zalim.”
Jenis diam yang kedua ini, jika ditelusuri banyak ditemui dalam kehidupan
bermasyarakat. Bahkan mereka memilih diam dan apatis ketika melihat
kemungkaran, padahal sebenarnya ia tahu benar bahwa seseorang melakukan
kesalahan dan wajib diberi nasihat. Jika kita lihat pada jaman orde baru dahulu, setiap kritikan, apalagi yang
ditujukan kepada penguasa mempunyai resiko yang sangat besar baginya. Sehingga
sebagian orang melihat kesalahan di depan mata hanya mampu diam dan mengelus
dada. Namun sekarang ini sudah jauh berbeda. Dimana hak untuk mengeluarkan pendapat telah dibuka
dengan seluas luasnya. Kritikan demi
kritikan baik bernuansa positip atau mendiskreditkan dapat disaksikan
ditelevisi atau dan dibaca di surat kabar. Karena itu, dalam hal ini diam melihat kemunkaran adalah sebuah
kesalahan. Diam juga tidak dianggap emas karena di dalamnya tidak terdapat
kemaslahatan umum.
Ketiga, Diam karena malu. Diam jenis ini dapat disebabkan oleh tiga faktor, diantaranya adalah keturunan,
pendidikan, atau lingkungan tempat tinggal. Tetapi, semua ini masih bisa diubah jika seseorang menginginkannya. Untuk
diam yang ketiga ini dikarena ketidakmampunnya dalam berbicara dan mengekspresikan diri. Tentunya
kita sering melihat orang yang sangat tekun menjadi pendengar dalam sebuah
diskusi atau rapat, itu bukan dikarenakan
dia memakai makna diam yang pertama, tapi karena dia tidak tahu apa yang
dibicarakan dan dapat juga dia mengalami trauma akibat pernah
mengalami pengalaman yang pahit. Misalnya, setiap
berbicara selalu disalahkan atau cendrung dianggap
tidak berguna. Memang
factor keluarga juga sangat mempengaruhi. Misalnya, Jika orang tuanya
cendrung pendiam maka sikap tersebut bisa jadi contoh untuk anggota keluarganya,
terkhusus anak.
Diam merupakan suatu sikap yang terkadang memiliki dampak positif dan
negative. Tergantung kita menempatkan dan memposisikannya. Dalam ajaran agama
kita juga dituntut untuk selalu menjaga lidah dari hal-hal yang tidak berguna, dan dalam ajaran agama
kita juga dituntut untuk mengatakan dan menyampaikan perkataan
yang baik. Karena itu,
sebagai manusia kita harus dapat memposisikan kapan saat kita harus diam dan
kapan kita harus berbicara. || Penulis Dosen FAI UMSU. (telah terbit di harian medan pos, 2016)